Beranda | Artikel
Pengakuan Adalah Hujjah Yang Pengaruhnya Terbatas - Ushul Fiqih
Sabtu, 29 Juni 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Pengakuan Adalah Hujjah Yang Pengaruhnya Terbatas merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz DR. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. dalam pembahasan Kitab Qawaa’idul Fiqhiyyah (Mukadimah Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fikih Islam) karya Ustadz Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Kajian ini disampaikan pada 25 Rajab 1440 H / 01 April 2019 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Pengakuan Adalah Hujjah Yang Pengaruhnya Terbatas – Ushul Fiqih

Kajian kita pada kesempatan kali ini akan membahas tentang kaidah yang ketiga dari kaidah-kaidah yang bukan dari redaksi Al-Qur’an, bukan dari redaksi nash syariat, bukan dari kaidah-kaidah terbesar di dalam fiqih Islam. Tapi ini adalah kaidah-kaidah yang dituliskan oleh Ustadz Ahmad Sabiq di akhir buku beliau tanpa ada kategori tertentu dari kaidah-kaidah ini. Kaidah yang ketiga ini berbunyi:

الإقرار حجة قاصرة

“Pengakuan adalah hujjah yang pengaruhnya terbatas”

Maksudnya terbatas ini hanya berlaku bagi orang yang mengaku saja. Pengakuan tersebut, pengaruhnya hanya berlaku bagi orang yang mengaku saja.

Ini adakag kaidah yang sangat penting yang harus kita ketahui agar kita bisa menyikapi dengan baik pengakuan yang diberikan oleh orang lain. Sehingga kita tidak mendzalimi orang yang seharusnya tidak memiliki tanggungan hanya karena perkataan orang lain.

Dalil bahwa pengakuan adalah hujjah

Pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّـهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا

Hendaklah orang yang mempunyai tanggungan hutang mengimlakkan apa yang akan ditulis dan hendaklah ia bertaqwa kepada Rabbnya dan jangan sampai dia mengurangi sedikitpun dari hutannya.” (QS. Al-Baqarah[2]: 282)

Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang yang berhutang untuk menulis kadar hutangnya. Dan menulis kadar hutang ini sama dengan ikrar. Karena dia mengaku bahwa dia berhutang dengan kadar sekian dan sekian. Pengakuan ini adalah hujjah. Pengakuan ini bisa dijadikan sebagai dalil atau sebagai bukti bahwa dia telah berhutang. Ini menunjukkan bahwa pengakuan bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Adapun tentang pengaruhnya yang terbatas, ini akan ada dalil lain yang menunjukkan hal tersebut. Ayat ini hanya hanya menunjukkan bahwa ikrar adalah hujjah.

Kedua, ayat dalam surat Ali-Imran ayat ke-81, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ

Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjianKu terhadap yang demikian itu? Mereka menjawab, ‘iya, kami mengakui’” (QS. Ali-Imran[3]: 81)

Ini adalah pengakuan, ini ikrar. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil ikrar tersebut sebagai hujjah atas mereka. Mereka harus melakukannya, mereka harus mempertanggungjawabkan ikrar tersebut. Ini menunjukkan bahwa iklan adalah hujjah. Ikrar adalah sesuatu yang bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Ayat ini hanya menjelaskan tentang masalah ikrar adalah hujjah. Belum dijelaskan di sini apakah ikrar adalah hujjah yang pengaruhnya terbatas ataukah ikrar merupakan hujjah yang pengaruhnya tidak terbatas pada orang yang mengaku saja.

Ketiga, kisah Ma’iz yang meminta dirajam oleh Nabi dan para Sahabatnya karena mengaku telah berzina. Dia ingin membersihkan dirinya dari dosa besar tersebut. Dia merasa tidak cukup hanya dengan taubat. Dia ingin agar Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar membersihkan dosanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beberapa kali menolak untuk merajamnya dengan tidak memperdulikan permintaan Ma’iz untuk dirajam. Tapi karena Ma’iz sampai tiga kali mengaku di hadapan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tiga kali meminta agar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merajamnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan pengakuannya sebagai hujjah, bukti, sandaran hukum untuk merajamnya.

Ini menunjukkan bahwa pengakuan seseorang bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini juga masih terbatas sampai disini. Bahwa pengakuan adalah hujjah. Belum ada penjelasan bahwa pengakuan adalah hujjah yang pengaruhnya terbatas hanya pada pelakunya saja.

Keempat, di sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebutkan kisah seorang perempuan. Yaitu Al-Ghamidiyah dari kabilah Ghamidi. Perempuan tersebut terjatuh ke dalam perzinahan. Kemudian dia mengaku di hadapan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Buktinya adalah keadaan dia yang sedang hamil.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika melihat keadaan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa agar dia membiarkan janinnya membesar dan tumbuh. Setelah orang ini melahirkan, dia datang lagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu mengatakan bahwa dia sudah melahirkan dan dia ingin dirajam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa biarkan anak tersebut menyusut dan sampai dewasa.

Kemudian anaknya disusui sampai dua tahun. Setelah selesai disusui, perempuan ini masih ingin dirajam. Dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu mengatakan keinginannya untuk dirajam.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diminta untuk merajamnya dan dia mengaku dia telah melakukan perbuatan tersebut dan ada buktinya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akhirnya merajam perempuan ini.

Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Rasulullah menjadikan pengakuannya sebagai sandaran hukum untuk merajamnya.

Dalil bahwa pengakuan adalah hujjah yang pengaruhnya terbatas

Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sanadnya hasan dan sebagiannya diriwayatkan dalam Ash-Shahihain. Yaitu:

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ، لَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي، وَالْيَمِينَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

“Seandainya semua manusia diberikan haknya dengan pengakuan saja maka akan banyak orang-orang yang mengaku memiliki hak atas harta-harta orang lain dan memiliki hak atas darah-darah orang lain. Akan tetapi orang yang mengaku harus mendatangkan bukti sedangkan orang yang mengingkari maka dia harus bersumpah.”

Hadits menunjukkan bahwa pengakuan saja tidak cukup. Dia harus ada bukti. Ini menunjukkan bahwa pengakuan hanya untuk diri sendiri. Apabila pengakuan tersebut berupa tuduhan atas orang lain, maka membutuhkan bukti -tidak cukup hanya mengaku saja-.

Simak pada menit ke-14:57

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Pengakuan Adalah Hujjah Yang Pengaruhnya Terbatas – Ushul Fiqih


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47276-pengakuan-adalah-hujjah-yang-pengaruhnya-terbatas-ushul-fiqih/